Thursday, February 7, 2019


Ketika Nabi SAW memobilisasi pasukan ke Tabuk, ada beberapa orang tertinggal atau tidak mengikuti beliau dalam pertempuran tersebut. Sebagian besar memang orang-orang yang tertuduh sebagai kaum munafik, mereka ini berjumlah sekitar delapan puluh orang. Ada juga sejumlah sahabat yang tidak memperoleh tunggangan dan perbekalan untuk berangkat, seperti sekelompok sahabat yang dipimpin Abdullah bin Ma'qil al Muzanni. Termasuk juga sepuluh orang dari Bani Muqrin. Mereka ini datang kepada Nabi SAW, tetapi beliau tidak memiliki apa-apa lagi untuk bisa memberangkatkan mereka, baik kendaraan atau perbekalan. Mereka pulang dengan berlinang air mata karena tidak bisa menyertai beliau berjihad. Namun demikian ada enam atau tujuh sahabat lainnya, yang tertinggal karena berbagai alasan yang tidak tepat, namun mereka menyadari kesalahannya ini, antara lain adalah Abu Lubabah.

Setelah beberapa hari berlalu sejak Nabi SAW dan pasukannya meninggalkan Madinah menuju Tabuk, Abu Lubabah beserta tiga (atau dua, dalam riwayat lainnya) temannya menyadari kesalahannya. Mereka menyesal, tetapi tidak mungkin untuk mengejar atau menyusul pasukan tersebut. Abu Lubabah berkata, "Kita di sini berada di naungan pohon yang sejuk, hidup tentram bersama istri-istri kita, sedangkan Rasulullah beserta kaum muslimin sedang berjihad…sungguh, celakalah kita…."

Tak habis-habisnya mereka menyesal, mereka yakin bahwa bahaya akan menimpa karena ketertinggalannya ini. Untuk mengekspresikan penyesalannya ini, Abu Lubabah berkata kepada kawannya, "Marilah kita mengikatkan diri ke tiang masjid, kita tidak akan melepaskan diri kecuali jika Rasulullah sendiri yang melepaskannya…!!"

Teman-temannya, Aus bin Khudzam, Tsa'labah bin Wadiah dan Mirdas (atau tanpa Mirdas, pada riwayat dua orang temannya) menyetujui usulan ini. Mereka tetap terikat pada tiang tersebut sampai Nabi SAW pulang, kecuali ketika mereka akan melaksanakan shalat. Ketika Nabi SAW pulang dari Tabuk dan masuk ke Masjid, beliau berkata, "Siapakah yang diikat di tiang-tiang masjid itu?"

"Abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak menyertai engkau berjihad, ya Rasulullah," Kata seorang sahabat, "Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri, kecuali jika tuan yang melepaskannya…!!"

Nabi SAW bersabda, "Aku tidak akan melepaskan mereka kecuali jika mendapat perintah dari Allah…!!"

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Nabi SAW bersabda tentang mereka, "Aku tidak akan melepaskannya sampai saatnya ada pertempuran lagi…!!" Suatu hari menjelang subuh, ketika itu Nabi SAW sedang berada di rumah Ummu Salamah, tiba-tiba beliau tertawa kecil. Ummu Salamah heran dengan sikap beliau ini dan berkata, "Apa yang engkau tertawakan, Ya Rasulullah?"

"Abu Lubabah dan teman-temannya diterima taubatnya…!!" Kata Nabi SAW.

Saat itu Nabi SAW memang menerima wahyu, Surah Taubah ayat 102, yang menegaskan diterimanya taubat mereka yang berdosa karena ketertinggalannya menyertai jihad bersama Nabi SAW. Ummu Salamah berkata, "Bolehkah aku memberitahukan kepada Abu Lubabah, ya Rasulullah..?" "Terserah engkau saja..!!" Kata Nabi SAW

Ummu Salamah berdiri di depan pintu atau jendela kamarnya yang memang menghadap masjid dan berkata, "Hai Abu Lubabah, bergembiralah karena telah diampuni dosamu, telah diterima taubatmu…!!"

Mereka bergembira, begitu juga dengan para sahabat yang telah berkumpul di masjid untuk shalat shubuh. Mereka ini ingin melepaskan ikatan Abu Lubabah dan teman-temannya, tetapi Abu Lubabah berkata, "Tunggulah sampai datang Rasulullah dan melepaskan sendiri ikatanku…!!" Nabi SAW masuk masjid dan melepaskan sendiri ikatan-ikatan mereka. Pagi harinya, Abu Lubabah dan tiga temannya menghadap Nabi SAW sambil membawa harta yang dipunyainya. Ia berkata, "Ya Rasulullah, inilah harta benda kami, shadaqahkanlah atas nama kami, dan tolong mintakan ampunan bagi kami…."

Nabi SAW bersabda, "Aku tidak diperintahkan untuk menerima harta sedikitpun (berkaitan dengan penerimaan taubat ini)…!!" Tetapi tak lama berselang, Nabi SAW memperoleh wahyu, Surah Taubah ayat 103, yang memerintahkan agar beliau untuk menerima shadaqah dari Abu Lubabah dan teman-temannya, dan mendoakan mereka. Beliau melaksanakan perintah ayat tersebut, dan itu membuat Abu Lubabah dan teman-temannya menjadi lebih gembira dan tentram hatinya.

Riwayat lain menyebutkan, peristiwa Abu Lubabah mengikatkan diri di tiang Masjid Nabi bukan berkaitan dengan Perang Tabuk, tetapi dengan Perang Bani Quraizhah.

Setelah berakhirnya Perang Khandaq (parit) atau Perang Ahzab karena pasukan kaum kafir Quraisy dan sekutu-sekutunya diporak-porandakan oleh angin dan badai di waktu subuh, Nabi SAW dan kaum muslimin segera kembali ke Madinah. Angin dan badai tersebut sebenarnya adalah pasukan malaikat yang dikirim Allah untuk membantu kaum muslimin, dan di waktu dhuhur, Jibril yang menjadi pimpinan pasukan malaikat menemui Nabi SAW sambil berkata, “Wahai Muhammad, mengapa engkau meletakkan senjata sedangkan kami belum meletakkan senjata. Serulah mereka untuk menuju Bani Quraizhah, dan kami akan berada di depanmu. Akan aku guncangkan benteng mereka dan aku susupkan ketakutan di hari mereka…!!” Bani Quraizhah adalah kaum Yahudi di Madinah yang terikat perjanjian damai dan kerjasama dengan Nabi SAW dalam Piagam Madinah. Tetapi ketika terjadi pengepungan Madinah oleh pasukan kafir Quraisy dan sekutunya, mereka justru berpihak kepada pasukan musuh dan memasok kebutuhan makanannya. Mereka juga berencana menyerang penampungan kaum wanita dengan mengirim seorang mata-mata terlebih dahulu. Untung saja, berkat keberanian bibi Rasulullah SAW, Shafiyyah binti Abdul Muthalib, mereka membatalkan rencananya itu. Shafiyah berhasil membunuh mata-mata tersebut dan menggelindingkan mayatnya ke arah pasukan Bani Quraizhah yang siap menyerang, karena itu mereka beranggapan bahwa ada pasukan muslim yang menjaga para kaum wanitanya, padahal tidak ada.

Segera saja Nabi SAW memerintahkan Bilal untuk menyerukan panggilan jihad, “Siapa saja yang tunduk dan patuh, janganlah melaksanakan shalat ashar kecuali di Bani Quraizhah!!”

Dalam kondisi baru tiba (pulang) setelah mempertahankan diri dari pengepungan kaum kafir Quraisy dan sekutunya selama satu bulan, ternyata tidak mudah untuk mengumpulkan seluruh pasukan. Karena itu Nabi SAW memerintahkan agar mereka yang telah siap, walau dalam kelompok yang kecil, agar segera berangkat. Kelompok demi kelompok akhirnya berkumpul di tempat Bani Quraizhah ketika telah menjelang waktu isya’, dan pada saat itulah mereka melaksanakan shalat ashar sesuai perintah Nabi SAW.

Kaum muslimin melakukan pengepungan selama beberapa hari lamanya, dan akhirnya pemimpin Bani Quraizhah, Ka’b bin Asad mengirim utusan kepada Nabi SAW sebagai tanda menyerah. Tetapi mereka juga meminta Nabi SAW mengirim Abu Lubabah untuk melakukan pembicaraan dan mendengar pendapatnya. Abu Lubabah memang sekutu terbaik kaum Yahudi Bani Quraizhah sebelum Islam datang, bahkan saat itu harta kekayaan dan anak Abu Lubabah ada yang masih tinggal (tertinggal) di wilayah kaum Yahudi tersebut. Dan ternyata, dalam situasi yang seperti itu Nabi SAW memenuhi permintaan mereka.

Ketika Abu Lubabah memasuki benteng dan perkampungan Bani Quraizhah, mereka mengelu-elukan dirinya, para wanita dan anak-anak menangis di hadapannya. Hal itu membuat Abu Lubabah terharu dan merasa kasihan. Ka’b berkata, “Wahai Abu Lubabah, apakah kami harus tunduk kepada keputusan Muhammad??”

“Begitulah!!” Kata Abu Lubabah, tanpa sadar ia memberi isyarat dengan tangannya yang diletakkan di lehernya, isyarat bahwa mereka akan dihukum mati. Mungkin karena suasana yang dilihatnya atau rasa kedekatannya selama ini yang membuat ia bersikap seperti itu. Tetapi seketika itu ia menyadari apa yang dilakukannya, yang sama artinya bahwa ia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Tanpa bicara apa-apa lagi ia berlari keluar, bukannya kembali menghadap Nabi SAW, tetapi menuju masjid Nabawi dan mengikatkan dirinya di tiang masjid sembari bersumpah tidak akan pernah memasuki Bani Quraizhah, dan juga tidak akan melepaskan ikatannya kecuali Nabi SAW sendiri yang melepaskannya.

Rasulullah SAW menunggu-nunggu kedatangan Abu Lubabah, karena tidak datang juga, beliau mengirimkan seorang utusan lainnya. Setelah mendengar tentang apa yang dilakukannya, beliau bersabda, “Andaikata ia datang kepadaku, tentu aku akan memaafkannya. Tetapi karena ia telah berbuat seperti itu (yakni dengan diikuti sumpah), maka aku tidak bisa melepaskannya kecuali jika ia benar-benar bertaubat kepada Allah!!” Selanjutnya sama dengan kisah di atas.

KISAH SAHABAT: ABU LUBABAH RA

Ketika Nabi SAW memobilisasi pasukan ke Tabuk, ada beberapa orang tertinggal atau tidak mengikuti beliau dalam pertempuran tersebut. Sebagia...

Wednesday, February 6, 2019


Pada waktu umat manusia dalam kegelapan dan suasana jahiliyyah, lahirlah seorang bayi pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah di Makkah. Bayi yang dilahirkan bakal membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban manusia. Bapa bayi tersebut bernama Abdullah bin Abdul Mutallib yang telah wafat sebelum baginda dilahirkan iaitu sewaktu baginda 7 bulan dalam kandungan ibu. Ibunya bernama Aminah binti Wahab. Kehadiran bayi itu disambut dengan penuh kasih sayang dan dibawa ke ka'abah, kemudian diberikan nama Muhammad, nama yang belum pernah wujud sebelumnya.

Selepas itu Muhammad disusukan selama beberapa hari oleh Thuwaiba, budak suruhan Abu Lahab sementara menunggu kedatangan wanita dari Banu Sa'ad. Adat menyusukan bayi sudah menjadi kebiasaan bagi bangsawan-bangsawan Arab di Makkah. Akhir tiba juga wanita dari Banu Sa'ad yang bernama Halimah bin Abi-Dhuaib yang pada mulanya tidak mahu menerima baginda kerana Muhammad seorang anak yatim. Namun begitu, Halimah membawa pulang juga Muhammad ke pedalaman dengan harapan Tuhan akan memberkati keluarganya. Sejak diambilnya Muhammad sebagai anak susuan, kambing ternakan dan susu kambing-kambing tersebut semakin bertambah. Baginda telah tinggal selama 2 tahun di Sahara dan sesudah itu Halimah membawa baginda kembali kepada Aminah dan membawa pulang semula ke pedalaman.

Kisah Dua Malaikat dan Pembedahan Dada Muhammad

Pada usia dua tahun, baginda didatangi oleh dua orang malaikat yang muncul sebagai lelaki yang berpakaian putih. Mereka bertanggungjawab untuk membedah Muhammad. Pada ketika itu, Halimah dan suaminya tidak menyedari akan kejadian tersebut. Hanya anak mereka yang sebaya menyaksikan kedatangan kedua malaikat tersebut lalu mengkhabarkan kepada Halimah. Halimah lantas memeriksa keadaan Muhammad, namun tiada kesan yang aneh ditemui.

Muhammad tinggal di pedalaman bersama keluarga Halimah selama lima tahun. Selama itu baginda mendapat kasih sayang, kebebasan jiwa dan penjagaan yang baik daripada Halimah dan keluarganya. Selepas itu baginda dibawa pulang kepada datuknya Abdul Mutallib di Makkah.

Datuk baginda, Abdul Mutallib amat menyayangi baginda. Ketika Aminah membawa anaknya itu ke Madinah untuk bertemu dengan saudara-maranya, mereka ditemani oleh Umm Aiman, budak suruhan perempuan yang ditinggalkan oleh bapa baginda. Baginda ditunjukkan tempat wafatnya Abdullah serta tempat dia dikuburkan.

Sesudah sebulan mereka berada di Madinah, Aminah pun bersiap sedia untuk pulang semula ke Makkah. Dia dan rombongannya kembali ke Makkah menaiki dua ekor unta yang memang dibawa dari Makkah semasa mereka datang dahulu. Namun begitu, ketika mereka sampai di Abwa, ibunya pula jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia lalu dikuburkan di situ juga.
Muhammad dibawa pulang ke Makkah oleh Umm Aiman dengan perasaan yang sangat sedih. Maka jadilah Muhammad sebagai seorang anak yatim piatu. Tinggallah baginda dengan datuk yang dicintainya dan bapa-bapa saudaranya.

"Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk" (Surah Ad-Dhuha, 93: 6-7)

Abdul Mutallib Wafat

Kegembiraannya bersama datuk baginda tidak bertahan lama. Ketika baginda berusia lapan tahun, datuk baginda pula meninggal dunia. Kematian Abdul Mutallib menjadi satu kehilangan besar buat Bani Hashim. Dia mempunyai keteguhan hati, berwibawa, pandangan yang bernas, terhormat dan berpengaruh dikalangan orang Arab. Dia selalu menyediakan makanan dan minuman kepada para tetamu yang berziarah dan membantu penduduk Makkah yang dalam kesusahan.

Muhammad diasuh oleh Abu Talib

Selepas kewafatan datuk baginda, Abu Talib mengambil alih tugas bapanya untuk menjaga anak saudaranya Muhammad. Walaupun Abu Talib kurang mampu berbanding saudaranya yang lain, namun dia mempunyai perasaan yang paling halus dan terhormat di kalangan orang-orang Quraisy.Abu Talib menyayangi Muhammad seperti dia menyayangi anak-anaknya sendiri. Dia juga tertarik dengan budi pekerti Muhammad yang mulia.

Pada suatu hari, ketika mereka berkunjung ke Syam untuk berdagang sewaktu Muhammad berusia 12 tahun, mereka bertemu dengan seorang rahib Kristian yang telah dapat melihat tanda-tanda kenabian pada baginda. Lalu rahib tersebut menasihati Abu Talib supaya tidak pergi jauh ke daerah Syam kerana dikhuatiri orang-orang Yahudi akan menyakiti baginda sekiranya diketahui tanda-tanda tersebut. Abu Talib mengikut nasihat rahib tersebut dan dia tidaak banyak membawa harta dari perjalanan tersebut. Dia pulang segera ke Makkah dan mengasuh anak-anaknya yang ramai. Muhammad juga telah menjadi sebahagian dari keluarganya. Baginda mengikut mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dan mendengar sajak-sajak oleh penyair-penyair terkenal dan pidato-pidato oleh penduduk Yahudi yang anti Arab.

Baginda juga diberi tugas sebagai pengembala kambing. Baginda mengembala kambing keluarganya dan kambing penduduk Makkah. Baginda selalu berfikir dan merenung tentang kejadian alam semasa menjalankan tugasnya. Oleh sebab itu baginda jauh dari segala pemikiran manusia nafsu manusia duniawi. Baginda terhindar daripada perbuatan yang sia-sia, sesuai dengan gelaran yang diberikan iaitu "Al-Amin".

Selepas baginda mula meningkat dewasa, baginda disuruh oleh bapa saudaranya untuk membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid, seorang peniaga yang kaya dan dihormati. Baginda melaksanakan tugasnya dengan penuh ikhlas dan jujur. Khadijah amat tertarik dengan perwatakan mulia baginda dan keupayaan baginda sebagai seorang pedagang. Lalu dia meluahkan rasa hatinya untuk berkahwin dengan Muhammad yang berusia 25 tahun ketika itu. Wanita bangsawan yang berusia 40 tahun itu sangat gembira apabila Muhammad menerima lamarannya lalu berlangsunglah perkahwinan mereka berdua. Bermulalah lembaran baru dalam hidup Muhammad dan Khadijah sebagai suami isteri.

Turunnya Wahyu Pertama

Pada usia 40 tahun, Muhammad telah menerima wahyu yang pertama dan diangkat sebagai nabi sekelian alam. Ketika itu, baginda berada di Gua Hira' dan sentiasa merenung dalam kesunyian, memikirkan nasib umat manusia pada zaman itu. Maka datanglah Malaikat Jibril menyapa dan menyuruhnya membaca ayat quran yang pertama diturunkan kepada Muhammad.

"Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan" (Al-'Alaq, 96: 1)

Rasulullah pulang dengan penuh rasa gementar lalu diselimuti oleh Khadijah yang cuba menenangkan baginda. Apabila semangat baginda mulai pulih, diceritakan kepada Khadijah tentang kejadian yang telah berlaku.

Kemudian baginda mula berdakwah secara sembunyi-sembunyi bermula dengan kaum kerabatnya untuk mengelakkan kecaman yang hebat daripada penduduk Makkah yang menyembah berhala. Khadijah isterinya adalah wanita pertama yang mempercayai kenabian baginda. Manakala Ali bin Abi Talib adalah lelaki pertama yang beriman dengan ajaran baginda.Dakwah yang sedemikian berlangsung selama tiga tahun di kalangan keluarganya sahaja.

Dakwah Secara Terang-terangan

Setelah turunnya wahyu memerintahkan baginda untuk berdakwah secara terang-terangan, maka Rasulullah pun mula menyebarkan ajaran Islam secara lebih meluas.

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik." (Al-Hijr, 15:94)

Namun begitu, penduduk Quraisy menentang keras ajaran yang dibawa oleh baginda. Mereka memusuhi baginda dan para pengikut baginda termasuk Abu Lahab, bapa saudara baginda sendiri. Tidak pula bagi Abu Talib, dia selalu melindungi anak saudaranya itu namun dia sangat risau akan keselamatan Rasulullah memandangkan tentangan yang hebat dari kaum Quraisy itu. Lalu dia bertanya tentang rancangan Rasulullah seterusnya. Lantas jawab Rasulullah yang bermaksud:

"Wahai bapa saudaraku, andai matahari diletakkan diletakkan di tangan kiriku dan bulan di tangan kananku, agar aku menghentikan seruan ini, aku tidak akan menghentikannya sehingga agama Allah ini meluas ke segala penjuru atau aku binasa kerananya"

Baginda menghadapi pelbagai tekanan, dugaan, penderitaan, cemuhan dan ejekan daripada penduduk-penduduk Makkah yang jahil dan keras hati untuk beriman dengan Allah. Bukan Rasulullah sahaja yang menerima tentangan yang sedemikian, malah para sahabatnya juga turut merasai penderitaan tersebut seperti Amar dan Bilal bin Rabah yang menerima siksaan yang berat.

Wafatnya Khadijah dan Abu Talib

Rasulullah amat sedih melihat tingkahlaku manusia ketika itu terutama kaum Quraisy kerana baginda tahu akan akibat yang akan diterima oleh mereka nanti. Kesedihan itu makin bertambah apabila isteri kesayangannya wafat pada tahun sepuluh kenabiaannya. Isteri bagindalah yang tidak pernah jemu membantu menyebarkan Islam dan mengorbankan jiwa serta hartanya untuk Islam. Dia juga tidak jemu menghiburkan Rasulullah di saat baginda dirundung kesedihan.

Pada tahun itu juga bapa saudara baginda Abu Talib yang mengasuhnya sejak kecil juga meninggal dunia. Maka bertambahlah kesedihan yang dirasai oleh Rasulullah kerana kehilangan orang-orang yang amat disayangi oleh baginda.

Hijrah Ke Madinah

Tekanan orang-orang kafir terhadap perjuangan Rasulullah semakin hebat selepas kepergian isteri dan bapa saudara baginda. Maka Rasulullah mengambil keputusan untuk berhijrah ke Madinah berikutan ancaman daripada kafir Quraisy untuk membunuh baginda.

Rasulullah disambut dengan meriahnya oleh para penduduk Madinah. Mereka digelar kaum Muhajirin manakala penduduk-penduduk Madinah dipanggil golongan Ansar. Seruan baginda diterima baik oleh kebanyakan para penduduk Madinah dan sebuah negara Islam didirikan di bawah pimpinan Rasulullas s.a.w sendiri.

Negara Islam Madinah

Negara Islam yang baru dibina di Madinah mendapat tentangan daripada kaum Quraisy di Makkah dan gangguan dari penduduk Yahudi serta kaum bukan Islam yang lain. Namun begitu, Nabi Muhammad s.a.w berjaya juga menubuhkan sebuah negara Islam yang mengamalkan sepenuhnya pentadbiran dan perundangan yang berlandaskan syariat Islam. Baginda dilantik sebagai ketua agama, tentera dan negara. Semua rakyat mendapat hak yang saksama. Piagam Madinah yang merupakan sebuah kanun atau perjanjian bertulis telah dibentuk. Piagam ini mengandungi beberapa fasal yang melibatkan hubungan antara semua rakyat termasuk kaum bukan Islam dan merangkumi aspek politik, sosial, agama, ekonomi dan ketenteraan. Kandungan piagam adalah berdasarkan wahyu dan dijadikan dasar undang-undang Madinah.

Islam adalah agama yang mementingkan kedamaian. Namun begitu, aspek pertahanan amat penting bagi melindungi agama, masyarakat dan negara. Rasulullah telah menyertai 27 kali ekspedisi tentera untuk mempertahan dan menegakkan keadilan Islam. Peperangan yang ditempuhi baginda ialah Perang Badar (623 M/2 H), Perang Uhud (624 M/3 H), Perang Khandak (626 M/5 H) dan Perang Tabuk (630 M/9 H). Namun tidak semua peperangan diakhiri dengan kemenangan.

Pada tahun 625 M/ 4 Hijrah, Perjanjian Hudaibiyah telah dimeterai antara penduduk Islam Madinah dan kaum Musyrikin Makkah. Maka dengan itu, negara Islam Madinah telah diiktiraf. Nabi Muhammad s.a.w. juga telah berjaya membuka semula kota Makkah pada 630 M/9 H bersama dengan 10 000 orang para pengikutnya.

Perang terakhir yang disertai oleh Rasulullah ialah Perang Tabuk dan baginda dan pengikutnya berjaya mendapat kemenangan. Pada tahun berikutnya, baginda telah menunaikan haji bersama-sama dengan 100 000 orang pengikutnya. Baginda juga telah menyampaikan amanat baginda yang terakhir pada tahun itu juga. Sabda baginda yang bermaksud:

"Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahawa Tuhan kamu Maha Esa dan kamu semua adalah daripada satu keturunan iaitu keturunan Nabi Adam a.s. Semulia-mulia manusia di antara kamu di sisi Allah s.w.t. ialah orang yang paling bertakwa. Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara dan kamu tidak akan sesat selama-lamanya selagi kamu berpegang teguh dengan dua perkara itu, iaitu kitab al-Quran dan Sunnah Rasulullah."

Wafatnya Nabi Muhammad s.a.w

Baginda telah wafat pada bulan Jun tahun 632 M/12 Rabiul Awal tahun 11 Hijrah. Baginda wafat setelah selesai melaksanakan tugasnya sebagai rasul dan pemimpin negara. Baginda berjaya membawa manusia ke jalan yang benar dan menjadi seorang pemimpin yang bertanggungjawab, berilmu dan berkebolehan. Rasulullah adalah contoh terbaik bagi semua manusia sepanjang zaman.



KISAH NABI MUHAMMAD SAW

Pada waktu umat manusia dalam kegelapan dan suasana jahiliyyah, lahirlah seorang bayi pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah di Makkah. Bayi yang d...

Tuesday, February 5, 2019


Kita berbicara tentang pemuda Anshar yang menjadi senior dan tokoh bukan karena usia. Ia adalah pemimpinnya para ulama di akhirat kelak. Dialah yang disebut oleh Nabi Muhammad sebagai orang yang paling tahu tentang halal dan haram. Dialah Muadz bin Jabal al-Anshari radhiallahu ‘anhu.

Mengenal Muadz

Nama dan nasabnya adalah Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus. Kabilah Aus merupakan salah satu kabilah besar yang terpandang di Kota Madinah. Adapun kun-yahnya adalah Abu Abdurrahman. Ia memeluk Islam di usia masih sangat belia, 18 tahun. Di antara peristiwa bersejarah yang melibatkan namanya adalah peristiwa Baiat Aqabah. Muadz bersama 70 orang Yatsrib lainnya berjanji akan menyediakan tempat baru di negeri mereka, kalau Rasulullah dan para sahabat benar-benar akan berhijrah. Ia turut serta pula dalam Perang Badar dan seluruh perang yang diikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini kita mengetahui, usia muda bukanlah penghalang untuk taat kepada Allah. Bukan penghalang melakukan amalan besar di dunia dan akhirat.

Muadz bin Jabal merupakan pemuda yang memiliki kedudukan besar di hati Nabi. Di antara hal yang menunjukkan hal itu adalah Nabi pernah memboncengnya. Pernah memegang tangannya sambIl berkata,

يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ

“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.” (HR. Abu Daud no. 1522 dan An Nasai no. 1304. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Walaupun usia Muadz masih sangat muda, ia memiliki wawasan keislaman yang luas. Buktinya Nabi mengutusnya berdakwah ke Yaman setelah Perang Tabuk. Beliau antar Muadz ke ujung jalan sambil berjalan kaki, sementara Muadz berada di tunggangan.

Di antara anak-anaknya adalah Abdurrahman, Ummu Abdullah, dan anak-anak lainnya yang tidak disebutkan oleh sejarawan nama-nama mereka.

Dari Abu Bahriyah Yazid bin Qutaib as-Sakuni, ia berkata, “Aku memasuki Masjid Homs (salah satu kota di Suriah sekarang). Kulihat seorang pemuda keriting dikelilingi orang-orang. Kalau ia berbicara, seakan cahaya dan mutiara keluar dari lisannya. Aku bertanya, Siapa orang itu?” Orang-orang menjawab, “Muadz bin Jabal.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 815)

Dari Abu Muslim al-Khaulani, ia berkata, “Aku memasuki Masjid Damaskus. Ternyata kulihat ada sebuah halaqah besar diampu oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad. Ternyata ia seorang pemuda. Ia bercelak mata. Gigi serinya putih bersih. Jika orang-orang berbeda pendapat tentang satu hal mereka tanyakan pada pemuda tersebut. Aku bertanya pada orang di sebelahku, ‘Siapa dia?’” Mereka menjawab, “Itu adalah Muadz bin Jabal.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 813).

Dari al-Waqidi, guru-gurunya menyampaikan, “Muadz adalah seorang yang tinggi, putih, rambutnya indah, matanya besar, alisnya bersambung, dan berisi badannya.” (Shifatu ash-Shafwah, 1/186).

Kedekatan dengan Nabi

Sejak Nabi hijrah ke Madinah, Muadz intens berguru pada Nabi (mulazamah). Ia belajar Alquran dan ilmu-ilmu syariat langsung dari sumbernya. Hingga ia menjadi seorang yang paling fasih bacaan Alqurannya di antara para sahabat. Dan termasuk yang paling berilmu tentang hukum-hukum agama. Muadz merupakan salah satu dari enam penghafal Alquran terbaik di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari, Rasulullah menggamit tanganku. Beliau bersabda,

يا معاذ، والله إني لأحبك

“Hai Muadz, demi Allah sungguh aku benar-benar mencintaimu.”

Aku menjawab,

بأبي أنت وأمي، والله إني لأحبك

“Ibu dan ayahku menjadi tebusan, demi Allah sungguh aku juga benar-benar mencintaimu.”

Beliau bersabda,

يا معاذ، إني أوصيك، لا تدعَنَّ أن تقول دبر كل صلاة: اللهم أعنِّي على ذكرك وشكرك وحسن عبادتك

“Hai Muadz, aku ingin memberi wasiat padamu. Jangan sampai kau lewatkan untuk membaca di setiap usai shalat, ‘Allahumma A’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu).” (Hadits Shahih riwayat Abu Dawud).

Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Muadz bin Jabal hendak bersafar.

وعن عبد الله بن عمرو بن العاص، أن معاذ بن جبل أراد سفرًا فقال: يا نبي الله، أوصني. قال: “اعبد الله لا تشرك به شيئًا”. قال: يا نبي الله، زدني. قال: “إذا أسأت فأحسن”. قال: يا رسول الله، زدني. قال: “استقم وليحسن خلقك”.

Muadz berkata, “Wahai Nabi Allah, beri aku wasiat.” Nabi bersabda, “Sembahlah Allah dan jangan kau sekutukan dengan sesuatu apapun.” Muadz kembali berkata, “Wahai Nabi Allah, tambahkan lagi.” Beliau bersabda, “Jika kau meminta (bertanya), lakukanlah dengan baik.” “Tambahkan lagi”, pinta Muadz. “Istiqomahlah dan perbaguslah akhlakmu.” (Shahih Ibnu Hibban, Kitab al-Bir wa al-Ihsan, No: 529).

Pujian Rasulullah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selektif dalam memuji. Beliau memberi pujian bukan sekadar basa-basi. Karena pujian beliau adalah sebuah rekomendasi. Menunjukkan bahwa orang yang dipuji bisa dijadikan rujukan bagi umatnya. Di antara sahabat yang banyak dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أعلم أمتي بالحلال والحرام معاذ بن جبل

“Umatku yang paling tahu tentang halal dan haram adalah Muadz bin Jabal.” (HR. Turmudzi 4159, Ibn Hibban 7137 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نعم الرجل أبو بكر، نعم الرجل عمر، نعم الرجل أبو عبيدة، نعم الرجل أسيد بن حُضير، نعم الرجل ثابت بن قيس بن شماس، نعم الرجل معاذ بن عمرو بن الجموح، نعم الرجل معاذ بن جبل

“Pria terbaik adalah Abu Bakr, Umar, Abu Ubaidah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, Mu’adz bin Amru ibnul Jamuh, dan Mu’adz bin Jabal.” (Ash Shahihah (875))

Dalam sabdanya yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Muadz:

اسْتَقْرِئُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ: مِنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَسَالِمٍ، مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، وَأُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ

“Belajarlah Alquran dari empat orang: Ibnu Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Muadz bin Jabal.” (HR. Muslim).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa di hari kiamat, Muadz berada jauh di depannya para ulama. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنه يأتي يوم القيامة إمام العلماء بربوة

“Sesungguhnya di datang pada hari kiamat nanti sebagai pimpinan para ulama. Di depan mereka sejauh lemparan yang jauh.” (HR. al-Hakim)

Diutus Ke Yaman

Dari Ashim bin Humaid bahwa Muadz bin Jabal mengisahkan, “Tatkala Rasulullah mengutusku ke Yaman, Rasulullah keluar mengantar dan memberi wasiat. Muadz berada di atas tunggangannya. Sementara Rasulullah berjalan mengiringinya. Saat hendak berpisah, beliau bersabda,

يا معاذ، إنك عسى ألا تلقاني بعد عامي هذا، ولعلك تمر بمسجدي هذا وقبري

‘Hai Muadz, bisa jadi kau tak akan berjumpa lagi denganku selepas tahun ini. Engkau lewat di masjidku dan di sini kuburku.’

Muadz pun menangis. Ia takut berpisah dengan Nabi. Kemudian Nabi berbalik ke arah Madinah. Beliau bersabda,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ ، مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا

“Sesungguhnya orang-orang yang paling utama disisiku adalah orang yang bertakwa, siapapun dan dimanapun mereka.” (HR. Ahmad).

Pujian Para Sahabat

Asy-Sya’bi (tabi’in) berkata, “Faurah bin Naufal al-Asyja’i menyampaikan kepadaku bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Muadz bin Jabal adalah seorang yang patuh kepada Allah (qanit) dan hanif. Ada yang berkata,

إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا لِّلَّهِ حَنِيفًا

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif.” [Quran An-Nahl: 120].

Aku tidak lupa. Apakah kau tahu apa yang dimaksud dengan umat? Dan apa juga makna Qanit? Faurah berkata, “Allahu a’lam.” Ibnu Mas’ud berkata, “Umat adalah yang mengetahui kebaikan. Sedangkan qanit adalah yang tunduk patuh kepada Allah Azza wa Jallah dan Rasul-Nya. Dan Muadz bin Jabal adalah orang yang paling mengetahui kebaikan. Dan dia juga seorang yang patuh kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.” (Tafsir ath-Thabari)

Syahr bin Hausyab berkata, “Apabila para sahabat nabi berbicara (menyampaikan hadits), mereka melihat ke arah Muadz sebagai penghormatan padanya.” (Hilyatul Awliya’ oleh Abu Nu’aim)

Zuhud dan Wara’

Malik ad-Dari mengisahkan bahwa Umar bin al-Khattab mengambil uang sebanyak 400 Dinar. Lalu ia masukkan dalam satu bungkusan. Umar berkata pada budak laki-lakinya, “Pergilah! Bawa ini untuk Abu Ubaidah bin al-Jarah. Singgahlah sebentar, lihat apa yang akan ia dilakukan.”

Budak itu berangkat. Sesampainya di sana, ia berkata, “Amirul Mukminin berpesan padamu agar sebagian uang ini dimanfaatkan untuk kebutuhanmu.” Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah menyambung dan merahmatinya.” Kemudian ia memanggil budak perempuannya, “Kemarilah hai Jariyah (budak perempuan). Bawa 7 dari uang ini menuju si Fulan. Lima untuk si Fulan. Lima lagi untuk si Fulan. Sampai uang tersebut habis.”

Budak laki-laki Umar pun kembali menuju tuannya. Ia mengabarkan apa yang ia lihat. Kemudian Umar juga menyiapkan sejumlah uang yang sama untuk Muadz bin Jabal. Ia berkata, “Bawa ini menuju Muadz bin Jabal. Singgahlah sebentar. Perhatikan apa yang ia lakukan.”

Budak itu berangkat membawa uang tersebut. Sesampainya di tempat Muadz, ia berkata, “Amirul Mukminin berpesan padamu agar sebagian dari uang ini dipakai untuk memenuhi kebutuhanmu.” Muadz berkata, “Semoga Allah merahmati dan menyambungnya. Kemarilah Jariyah (budak perempuan). Bawa sejumlah uang ini menuju rumah Fulan. Pergilah ke rumah Fulan dengan uang sekadar ini.” Kemudian istrinya datang. Ia berkata, “Demi Allah, aku juga adalah orang yang membutuhkan. Berilah juga untukku.” Saat itu, tidak tersisa di kantong kecuali dua Dinar saja. Muadz menyerahkan dua Dinar itu untuk istrinya. Kemudian budak itu kembali menuju Umar. Ia kabarkan apa yang ia lihat. Umar berkomentar, “Mereka itu adalah saudara. Sebagian mereka bagian dari yang lain.” (Siyar A’lam an-Nubala, 1/456). Demikianlah zuhudnya Muadz terhadap dunia.

Yahya bin Said mengatakan, “Muadz memiliki dua orang istri. Apabila ia berada di salah satu rumah istrinya, ia tidak akan minum air dari rumah yang lain.” (Hilyatul Aulia oleh Abu Nu’aim No: 823). Inilah bentuk kehati-hatian (wara’) Muadz. Ia tidak ingin zalim kepada salah seorang istrinya walaupun hanya mengecap air dari rumah yang bukan menjadi gilirannya.

Yahya bin Said juga menuturkan bahwa Muadz bin Jabal memiliki dua orang istri. Pada saat hari giliran salah seorang istrinya, ia tidak berwudhu di rumah yang lain. Kemudian kedua istrinya wafat karena wabah di Syam. Orang-orang pun dalam keadaan sibuk. Ia makamkan keduanya di satu liang. Lalu ia undi, siapa yang dikedepankan diletakkan dalam kubur.” (Hilyatul Auliya).

Tsaur bin Yazid mengatakan, “Apabila Muadz mengerjakan tahajud di malam hari, ia berkata,

اللهم قد نامت العيون وغارت النجوم وأنت حي قيوم: اللهم طلبي للجنة بطيء، وهربي من النار ضعيف، اللهم اجعل لي عندك هدى ترده إلي يوم القيامة إنك لا تخلف الميعاد.

“Ya Allah, mata-mata telah terlelap. Bintang-bintang telah terbenam. Dan Engkaulah Yang Maha Hidup dan Senantiasa mengurusi hamba-hamba-Mu. Ya Allah, usahaku untuk mengejar surga begitu lambat. Dan lariku dari neraka begitu lemah. Ya Allah, berilah petunjuk untukku yang ada di sisi-Mu hingga hari kiamat. sesungguhnya Engkau tidak menyelisihi janji.” (Hilyatul Auliya, No: 823).

Ibnu Ka’ab bin Malik berkata, “Muadz bin Jabal adalah seorang pemuda yang tampan dan santun. Ia adalah salah satu pemuda terbaik di kaumnya. Tidaklah ia dipinta sesuatu pasti ia berikan.” (Hilyatul Auliya, No: 817).

Nasihat-Nasihat Muadz

Dari Muawiyah bin Qurah, Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata pada anaknya, “Anakku, apabila engkau shalat, shalatlah seakan itu shalat terakhirmu. Jangan berpikir kalau kau nanti akan berkesempatan mengerjakannya kembali. Ketauhilah anakku, seorang mukmin itu mati di antara dua kebaikan. Kebaikan yang telah ia kerjakan dan kebaikan yang akan ia kerjakan.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 824).

Dari Abu Idris al-Khaulani, Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu berkata, “Setiap engkau bersama -orang-orang, pastilah mereka membicarakan suatu hal. Apabila kau lihat mereka lalai, bersemangatlah engkau menuju Rabmu.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 834). Maksudnya saat orang-orang lalai, engkau tetap mengingat Rabbmu. Karena terdapat keutamaan mengingat Allah di saat kebanyakan orang melalaikannya.

Dari Asy’ats bin Sulaim, dari Raja’ bin Haiwah, Muadz bin Jabal berkata, “Kalian telah diuji dengan kesulitan, kalian mampu bersabar. Nanti kalian akan diuji dengan kesenangan. Dan yang paling aku takutkan atas kalian adalah ujian wanita. Kalian diliputi emas dan kaum wanita memakai Riyath (jenis pakaian) Syam, dan kain Yaman. Mereka membuat lelah orang-orang kaya. Dan membuat yang miskin terbebani.” (Hilyatul Auliya oleh Abu Nu’aim, No: 839).

Sakit dan Wafat

Thariq bin Abdurrahman mengisahkan bahwa tersebar wabah kolera di Syam. Saking rata penyebarannya, sampai orang-orang berkomentar, ‘Ini adalah banjir. Hanya saja tak ber-air’. Komentar ini sampai ke telinga Muadz, ia pun berkhotbah, ‘Telah sampai padaku apa yang kalian ucapkan. Tapi, ini adalah rahmat dari Rab kalian dan doa Nabi kalian. Seperti kematian orang shaleh sebelum kalian. Mereka takut dengan sesuatu yang lebih buruk dari ini. Yaitu seseorang keluar dari rumahnya di pagi hari dalam keadaan tidak tahu apakah ia beriman atau munafik. Dan mereka takut kepemimpinan anak-anak kecil (yang tidak kompeten)’.” (Shifatu ash-Shafwah, 1/189).

Abdullah bin Rafi’ berkata, “Saat Abu Ubaidah bin al-Jarah wafat karena wabah kolera. Orang-orang mengangkat Muadz bin Jabal sebagai pemimpin. Sakitnya bertambah parah. Orang-orang berkata pada Muadz, ‘Berdoalah kepada Allah untuk menghilangkan kotoran (wabah) ini’. Muadz menjawab, ‘Ini bukanlah kotoran. Tapi ini adalah doa nabi kalian. Dan keadaan wafatnya orang-orang shaleh dan syuhada sebelum kalian. Allah mengistimewakan siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya di antara kalian. Masyarakat sekalian, ada empat hal yang kalau kalian mampu untuk tidak bertemu sedikit pun dari empat hal ini, lakukanlah’.

Mereka bertanya, ‘Apa itu?’

Muadz menjawab, ‘Akan datang suatu masa dimana kebatilan begitu dominan. Sehingga seseorang di atas agamanya bertemu dengan yang lain, orang itu berkata, ‘Demi Allah, aku tak tahu sedang sakit apa aku ini. Aku tidak merasakan hidup di atas petunjuk. Tidak pula mati di atasnya. Seseorang memberi orang lain harta dari harta-harta Allah dengan syarat mereka mengucapkan kedustaan yang membuat Allah murka. Ya Allah, datangkanlah untuk keluarga Muadz ketentuan untuk mereka. Dan sempurnakanlah rahmat ini’.

Anak Muadz berseloroh, ‘Bagaimana kau anggap (wabah) ini sesuatu yang ingin segera didatangkan dan rahmat?’

Muadz berkata, ‘Wahai anakku (beliau nukilkan firman Allah),

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” [Quran Al-Baqarah: 147].

Anaknya menjawab, ‘Aku (ia menukil firman Allah)

سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Insyaallah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” [Quran Ash-Shaffat: 102]

Kemudian kedua istrinya terkena wabah ini. Keduanya wafat. Sementara Muadz, terjangkiti wabah ini di jempolnya. Ia usap dengan mulutnya sambil berkata, “Ya Allah, sesungguhnya ini kecil. Berkahilah. Sesungguhnya Engkau Maha memberi keberkahan pada yang kecil.” Muadz pun wafat karena wabah ini.

Sejarawan sepakat bahwa Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu wafat karena penyakit tha’un (kolera). Ia wafat di sebuah wilayah di Yordania (Syam) pada tahun 28 H. Adapun usianya saat wafat, sejarawan berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan ia wafat saat berusia 38 tahun. Dan pendapat lainnya menyatakan 33 tahun. Semoga Allah meridhai dan merahmati Muadz bin Jabal, pemimpin para ulama di akhirat kelak.(KI)

Muadz Bin Jabal Pemimpin Para Ulama

Kita berbicara tentang pemuda Anshar yang menjadi senior dan tokoh bukan karena usia. Ia adalah pemimpinnya para ulama di akhirat kelak. Dia...

 

Tekno Ilmu © 2015 - Blogger Templates Designed by Templateism.com, Plugins By MyBloggerLab.com