Thursday, August 24, 2017



Suatu ketika Nabi saw. telah bersumpah akan berpisah dengan istri-istrinya selama satu bulan sebagai peringatan bagi mereka. Selama sebulan beliau tinggal seoang diri dalam sebuah kamar yang sederhana yang letaknya agak tinggi. Terdengar kabar dikalangan para sahabat bahwa Nabi saw. telah meneceraikan semua istrinya. Ketika Umar bin Khaththab r.a. mendengar kabar ini, ia segera berlari ke mesjid. Setibanya disana, dia melihat para sahabat sedang duduk termenung, mereka bersedih dan menangis. Juga kaum wanita menangis di rumah-rumah mereka. Kemudian Umar r.a. pergi menemui putrinya, Hafshah r.a. yang telah dinikahi oleh Nabi saw.

Umar r.a. mendapati Hafshah r.a. sedang menangis dalam kamarnya. Umar r.a. bertanya, ”Mengapa engkau menangis? Bukankah selama ini saya telah melarangmu melakukan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan Nabi?”

Kemudian dia kembali ke mesjid, terlihat olehnya beberapa orang sahabat sedang menangis di dekat mimbar. Kemudian ia duduk bersama para sahabat beberapa saat, lalu berjalan kearah kamar Nabi saw. yang terletak ditingkat atas mesjid. Dia mendapati Rabah r.a. seorang hamba sahaya sedang duduk di tangga kamar itu. Melalui Rabah r.a. dia minta ijin untuk menemui Nabi saw. Rabah r.a. pergi menjmpai Nabi saw. kemudian kembali dan memberitahukan bahwa dia telah menyampaikan keinginannya, namun Rasulullah saw. hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya. Permntaannya untuk menjumpai Nabi saw. diulang beberapa kali, hingga yang ketiga kalinya barulah Nabi saw. mengizinkan naik. Ketika Umar r.a. masuk, dia menjumpai Nabi saw. sedang berbaring diatas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma, sehingga di badan Nabi saw. yang putih bersih dan indah itu terlihat bekas-bekas daun kurma. Di tempat kepala beliau ada sebuah bantal yang dibuat dari kulit binatang yang dipenuhi oleh daun dan kulit pohon kurma.
Umar r.a. bercerita, “Saya mengucapkan salam kepada beliau kemudian bertanya, “Apakah engkau telah menceraikan istri-istri engkau?”. Nabi saw. menjawab, “Tidak.”

Saya merasa sedikit lega. Sambil bercanda saya mengatakan,”Ya Rasulullah, kita adalah kaum Quraisy yang selamanya telah menguasai wanita-wanita kita. Tetapi setelah kita hijrah ke Madinah, keadaan sungguh berbeda dengan orang-orang Anshar, mereka dikuasai oleh wanita-wanita mereka sehingga wanita-wanita kita terpengaruh oleh kebiasaan mereka.”

Nabi saw. tersenyum mendengar perkataan saya. Saya memperhatikan keadaan kemar Nabi saw., terllihat tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar itu, selain itu tidak terdapat apapun, saya menangis melihat keadaan itu.

Rasulullah bertanya, “Mengapa engkau menangis?’

Saya menjawab, “Bagaimana saya tidak menangis, ya Rasulullah. Saya sedih melihat tanda tikar yang engkau tiduri di badan engkau yang mulia dan saya prihatin melihat keadaan kamar ini. Semoga Allah mengaruniakan kepada tuan bekal yang lebih banyak. Orang-orang Persia dan Romawi yang tidak beragama dan tidak menyembah Allah, tetapi raja mereka hidup mewah. Mereka hidup dikelilingi taman yang ditengahnya mengalir sungai, sedangkan engkau adalah pesuruh Allah, tetapi engkau hidup dalam keadaan miskin.”

Ketka saya berkata demikian, Rasulullah sedang bersandar di bantalnya, beliau bangun lalu berkata,”Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kehidupan di alam akhirat, tentu akan lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini. Jika orang-orang kafir itu dapat hidup mewah di dunia ini, kitapun akan memperoleh segala kenikmatan itu di akhirat nanti. Di sana kita akan mendapatkan segala-galanya.”

Mendengar sabda Nabi saw. itu saya menyesal, lalu berkata,”Ya Rasulullah, memohon ampunlah kepada Allah untuk saya. Saya telah bersalah dalam hal ini.”
Pelajaran dari kisah diatas
Rasulullah saw. adalah pemimpin agama dan dunia, sekaligus kekasih Allah Swt., namun beliau tidur di atas sehelai tikar yang tidak dilapisi apapun, sehingga menimbulkan goresan bekas tikar itu di badan beliau yang putih. Kita dapat mengetahui bagaimana keadaan ekonomi Rasulullah saw. ketika Umar r.a. mengajurkan beliau agar berdoa kepada Allah supaya diberi harta, beliau malah memperingatkannya.
Seseorang bertanya kepada Aisyah r.a. mengenai tempat tidur Rasulullah saw. Aisyah r.a. menjawab, “Bantalnya itu tebuat dari kulit binatang yang diisi dengan kulit pohon kurma.”

Pertanyaan yang sama dikemukakan kepada Hafshah r.a. Dia menjawab, “ Tikarnya terbuat dari sehelai kain yang dilipat dua. Pada suatu hari untuk memberi kenyamanan kepada Nabi saw., saya telah menghamparkan kain itu berlipat empat. Keesokan harinya Nabi saw. bertanya, “Apakah yang telah engkau hamparkan tadi malam sehingga terasa lebih empuk?” Saya menjawab,” Kain yang sama, tetapi saya melipatnya empat lipatan.” Beliau saw. bersabda,”Lipatlah seperti semula, kenyamanan seperti tadi malam akan menghalangi shalat tahajjudku.”(Syamail Tirmidzi)
Keadaan kita saat ini selalu ingin tidur nyaman diatas kasur yang empuk. Lihatlah Rasulullah saw. padahal Allah Swt. pernah menawarkan harta kekayaan yang banyak kepada beliau, namun beliau menolaknya. Beliau tidak mengeluh sedikitpun.


Kisah Peringatan Rasulullah SAW Kepada UMAR RA

Suatu ketika Nabi saw. telah bersumpah akan berpisah dengan istri-istrinya selama satu bulan sebagai peringatan bagi mereka. Selama sebulan ...

Saturday, August 5, 2017



Sawad bin Ghaziyyah RA adalah salah seorang Ahlul Badar, dan termasuk dari sedikit sahabat yang menemui syahidnya di medan Perang Badar itu. Pada hari berlangsungnya pertempuran ketika sedang persiapan pasukan, Nabi SAW mengatur barisan dan meluruskannya, seperti ketika meluruskan shaf-shaf shalat. Saat tiba di tempat Sawad, beliau melihat kalau posisinya agar bergeser, tidak lurus dengan anggota pasukan lainnya. Beliau memukul perut Sawad dengan anak panah sambil bersabda, "Luruskan barisanmu, wahai Sawad…!!"

Tetapi tanpa diduga oleh siapapun, tiba-tiba Sawad berkata, "Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku, maka berilah kesempatan kepadaku untuk membalasmu (meng-qishash-mu)..!!"

Para sahabat terkejut, dan sebagian besar marah dengan ucapan Sawad ini, apalagi Umar bin Khaththab. Nabi SAW sendiri sebenarnya terkejut dengan sikapnya itu, tetapi beliau menenangkan mereka. Sambil menyerahkan anak panah yang dipakai memukul, beliau bersabda, "Kalau begitu, balaslah wahai Sawad…!!"

Sambil menerima anak panah dari tangan Nabi SAW, Sawad berkata, "Wahai Rasulullah, engkau memukulku di perut yang tidak tertutup kain, karena itu hendaklah engkau singkapkan baju engkau..!!"

Para sahabat makin marah dengan sikap dan kemauan Sawad yang tidak sepatutnya ini. Tetapi Nabi SAW tetap menenangkan mereka dan memenuhi permintaan Sawad. Setelah beliau menyingkapkan baju beliau, Sawad segera melemparkan anak panah tersebut dan memeluk perut Nabi SAW dengan erat sambil menangis bahagia,sekaligus meminta maaf kepada beliau. Sekali lagi Nabi SAW dibuat terkejut dengan tindakan Sawad yang tidak tersangka-sangka ini. Beliau berkata, "Apa-apaan engkau ini, Sawad….??"

Sawad berkata, "Inilah yang aku inginkan, ya Rasulullah, telah lama aku berharap kulitku yang hina ini bisa bersentuhan dengan kulit engkau yang mulia, dan aku bersyukur bisa melakukannya, semoga ini menjadi saat-saat terakhir dalam hidupku bersama engkau….!!"

Nabi SAW tersenyum mendengar jawaban Sawad ini, karena apa yang dilakukannya adalah ekspresi kecintaannya kepada Nabi SAW. Segera saja beliau mendoakan kebaikan dan ampunan bagi Sawad.

Ketika pertempuran mulai berkobar, Sawad segera menghambur ke barisan kaum musyrikin yang jumlahnya jauh lebih besar, yakni lebih dari tiga kali lipat banyaknya. Dengan semangat jihad yang begitu menggelora dan keinginan untuk mencapai syahid di jalan Allah, ia menyerang musuh tanpa sedikitpun rasa takut.

Luka tikaman dan sayatan senjata tidak langsung menghentikan langkahnya untuk menghadang serangan kaum musyrikin. Sawad baru berhenti berjuang ketika kakinya tidak lagi mampu menyangga tubuhnya, tangannya tak lagi mampu menggerakkan pedang akibat terlalu banyaknya luka-luka dan darah yang mengucur dari tubuhnya.

Namun demikian mulutnya tampak tersenyum ketika tubuhnya roboh ke tanah, karena ruhnya langsung disambut para malaikat yang langsung mengantarnya ke hadirat Allah.

Sawad Bin Ghaziyyah Ra "Sahabat Nabi Yang Tersenyum Ketika Kematian Menjemput"

Sawad bin Ghaziyyah RA adalah salah seorang Ahlul Badar, dan termasuk dari sedikit sahabat yang menemui syahidnya di medan Perang Badar itu....

Friday, August 4, 2017



Mari kita pelajari sifat dan kisah Rasulullah, Rasulullah bukan sosok pemarah. Banyak yang mencoba mengejek, menyakiti dan melukai, tapi Rasulullah tidak menanggapi dengan api amarah. Rasulullah kadang malah membalas dengan kasih berlebih. Begitu pun ketika si Badui kurang ajar itu mengasarinya.Rasulullah tengah berjalan bersama Anas bin Malik, ketika tiba-tiba Arab Badui itu menarik selendang Najran di kalungan lehernya.
Begitu kerasnya tarikan si Badui, Nabi pun tercekik. Anas, seperti tercatat dalam Shahih al-Bukhari, sempat melihat bekas guratan di leher Nabi.
“Hai Muhammad, beri aku sebagian harta yang kau miliki!” teriak si Badui, masih dengan posisi selendang mencekik Rasul.
Apakah Nabi marah dengan sikap si Badui yang mirip preman Tanah Abang ini: berbuat kasar untuk minta ‘jatah’? Hati Nabi terlalu sejuk untuk sekadar diampiri letikan rasa gusar.
Tidak, Nabi justru tersenyum, dan bilang ke Anas, “Berikanlah sesuatu.”
Itu masih belum seberapa. Nabi bahkan pernah ‘dihadiahi’ kotoran hewan, pada punggung, di saat Nabi sedang sujud dalam shalat. Abdullah bin Mas’ud jadi saksi, yang kemudian direkam pula dalam Shahih al-Bukhari.
Ibnu Mas’ud melihat Nabi tengah bersembahyang di dekat Ka’bah, dan pada saat yang sama Abu Jahl dan gerombolannya duduk-duduk tak jauh dari situ.
“Siapa mau membawa kotoran-kotoran kambing, yang disembelih kemarin, untuk ditaruh di atas punggung Muhammad, begitu dia sujud?”
Abu Jahl berseru pada punakawannya. Satu dari mereka, yang tak lain adalah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, serta Uqbah bin Abi Mu’ith, itu bergerak mengambil kotoran. Mereka tunggu hingga Nabi sampai pada sujud.
Dan benar, sampai ketika Nabi sujud, ditaruhlah kotoran itu di antara dua bahu Nabi. Abu Jahl, punggawa Quraisy yang selalu berupaya menghancurkan Nabi itu, dan gerombolannya menyaksikan dengan tawa keras. Nabi tetap dalam sujud hingga Fatimah az-Zahra membersihkan sembari meneteskan air mata. Tapi Nabi bukan sosok pemarah, bukan pendendam.
Nabi tidak memerintahkan Sahabat-Sahabat untuk membalas balik perlakuan Abu Jahl Cs. Beliau hanya berdoa, “Allahumma alaika bi Quraisy, alaika bi Quraisy, alaika bi Quraisy.” Ya Allah, binasakan mereka, bangsa Quraisy yang pongah itu.
Semoga kisah di atas menjadi contoh bagi kita. Amin.


Ikhlas Apps

Kisah Rasulullah Dicekik dan Dilempari Kotoran Binatang

Mari kita pelajari sifat dan kisah Rasulullah, Rasulullah bukan sosok pemarah. Banyak yang mencoba mengejek, menyakiti dan melukai, tapi Ras...

Wednesday, August 2, 2017




Suatu hari, seorang pemuda mendatangiku. Aku memperhatikan wajahnya dan nampaklah sebuah wajah yang gelap. Aku bertanya tentang hajatnya, namun ia hanya diam saja. Aku ulangi pertanyaanku dan ia masih tidak mau berbicara. Aku memandang lebih dekat kepadanya, ternyata air mata menetes dari kedua matanya. Aku bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”

Ia berkata, “Aku tidak mampu lagi bernafas karena kesempitan yang aku rasakan dan kejenuhan. Demi Allah, wahai Syaikh, seakan-akan di dadaku ada sebuah gunung yang menindih dan menutup pernapasanku… Aku tidak mampu lagi bergaul dengan manusia, teman, bahkan dengan ibu, ayah dan saudara-saudaraku… Aku tidak mampu lagi duduk bersama-sama mereka… Tertawaku hanyalah basa basi, dan kegembiraanku hanyalah sesuatu yang dibuat-buat… Aku datang kepadamu agar engkau menyembuhkan aku dengan ruqyah… Atau engkau tunjukkan padaku orang yang bisa meruqyah…”

Aku bertanya, “Kesempitan yang engkau rasakan pastilah memiliki sebab. Apakah sebabnya?”

Ia menjawab, “Aku tidak tahu..”

Aku bertanya, “Bagaimana hubunganmu dengan Rabb-mu?”

Ia menjawab, “Buruk!… Tolong dengarkan kisahku…”

Aku berkata, “Ceritakanlah!”

Anak muda itu pun bercerita, “Saat umurku 14 tahun, ayahku pergi ke Amerika untuk melanjutkan pendidikannya dan aku ikut bersamanya. Ayahku melalaikan diriku dan membiarkan aku hidup diantara diskotik dan pusat-pusat perbelanjaan di umurku yang masih sangat belia.

Ketika ayahku menyelesaikan studinya selama 2 tahun, kami pun kembali ke Riyadh. Aku menuntut supaya ia mengembalikanku ke Amerika untuk melanjutkan studiku tapi ia menolaknya. Akhirnya aku belajar di kelas 3 SMA dan aku sengaja untuk tidak lulus dalam semua pelajaranku. Aku mengulanginya lagi setahun dan sengaja lagi untuk tidak lulus. Aku ulangi untuk tahun yang ketiga, dan dengan sengaja aku berusaha untuk tidak lulus. Setelah ayahku melihat hal itu, ia mengirimku kembali ke Amerika. Mestinya, aku bisa menyelesaikan studiku dalam 4 tahun, namun ternyata aku menyelesaikannya dalam 9 tahun!!

Tidak tersisa maksiat di muka bumi ini, melainkan aku pernah melakukannya di sana. Karena dahulu aku ingin bersenang-senang dengan keremajaanku selagi aku mampu…

Kemudian aku kembali ke Riyadh dan mulai belajar di kampus. Aku masih saja melakukan dosa-dosa besar maupun kecil, akan tetapi, kesempitan ini… ia mulai menutupi nafasku… menyempitkan hidupku… Aku bosan dengan segala hal… Segala sesuatunya pernah aku coba… Akan tetapi kejenuhan itu masih saja bersamaku…”

Ia mengucapkan seluruh perkataannya dengan tangisan…

Aku bertanya, “Apakah engkau masih shalat?”

Ia menjawab, “Tidak.”

Aku berkata, “Penyembuhan pertama untuk kesempitan ini adalah memperbaiki hubunganmu dengan Dzat, yang hatimu berada di Tangan-Nya, Dia membolak-balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya… Jagalah selalu shalatmu di masjid, dan perjanjianku denganmu adalah setelah 7 hari nanti.”

Hari-hari pun berlalu. Setelah sepekan, pemuda itu datang dengan wajah yang berbeda. Pertama kali melihatku, ia langsung memelukku dan berkata, “Jazakallahu khairan… Demi Allah, ya Syaikh, aku berada dalam kebahagiaan yang tidak pernah aku rasakan lagi sejak 9 tahun lalu…”

Aku bertanya kepadanya tentang kesempitan, kejenuhan dan kegelisahannya? Ternyata, seluruhnya telah hilang dari dirinya…
Benarlah Allah dalam firman-Nya (artinya) :

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.

Dia berkata, ‘Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?’
Dia (Allah) berfirman, ‘Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.’
Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Sungguh, azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.”

Dia Kembali Merasakan Kebahagiaan Setelah 9 Tahun Tidak Pernah Merasakannya..

Suatu hari, seorang pemuda mendatangiku. Aku memperhatikan wajahnya dan nampaklah sebuah wajah yang gelap. Aku bertanya tentang hajatnya, na...

Tuesday, August 1, 2017


Beliau adalah seorang sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Dijuluki ath-Thahirah yakni yang bersih dan suci. Sayyidah Quraisy ini dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat kira-kira 15 tahun sebelum tahun fill (tahun gajah). Beliau tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi seorang wanita yang cerdas dan agung.

Beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.

Pada mulanya beliau dinikahi oleh Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi yang membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Tatkala Abu Halah wafat, beliau dinikahi oleh Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi hingga beberapa waktu lamanya namun akhirnya mereka cerai.

Setelah itu banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang menginginkan beliau tetapi beliau memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga sibuk mengurusi perniagaan yang mana beliau menjadi seorang yang kaya raya.
Suatu ketika, beliau mencari orang yang dapat menjual dagangannya, maka tatkala beliau mendengar tentang Muhammad sebelum bi’tsah (diangkat menjadi Nabi), yang memiliki sifat jujur, amanah dan berakhlak mulia, maka beliau meminta kepada Muhammad untuk menjualkan dagangannya bersama seorang pembantunya yang bernama Maisarah. Beliau memberikan barang dagangan kepada Muhammad melebihi dari apa yang dibawa oleh selainnya.

Muhammad al-Amin pun menyetujuinya dan berangkatlah beliau bersama Maisarah dan Allah menjadikan perdagangannya tersebut menghasilkan laba yang banyak. Khadijah merasa gembira dengan hasil yang banyak tersebut karena usaha dari Muhammad, akan tetapi ketakjubannya terhadap kepribadian Muhammad lebih besar dan lebih mendalam dari semua itu. Maka mulailah muncul perasaan-perasaan aneh yang berbaur dibenaknya, yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Pemuda ini tidak sebagamana kebanyakan laki-laki lain dan perasaan-perasaan yang lain.

Akan tetapi dia merasa pesimis; mungkinkah pemuda tersebut mau menikahinya, mengingat umurnya sudah mencapai 40 tahun? Apa nanti kata orang karena ia telah menutup pintu bagi para pemuka Quraisy yang melamarnya? Maka disaat dia bingung dan gelisah karena masalah yang menggelayuti pikirannya, tiba-tiba muncullah seorang temannya yang bernama Nafisah binti Munabbih, selanjutnya dia ikut duduk dan berdialog hingga kecerdikan Nafisah mampu menyibak rahasia yang disembuyikan oleh Khodijah tentang masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Nafisah membesarkan hati Khadijah dan menenangkan perasaannya dengan mengatakan bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki martabat, keturunan orang terhormat, memiliki harta dan berparas cantik.Terbukti dengan banyaknya para pemuka Quraisy yang melamarnya.

Selanjutnya, tatkala Nafisah keluar dari rumah Khadijah, dia langsung menemui Muhammad al-Amin hingga terjadilah dialog yang menunjukan kelihaian dan kecerdikannya:

Nafisah : Apakah yang menghalangimu untuk menikah wahai Muhammad?
Muhammad : Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah .
Nafisah : (Dengan tersenyum berkata) Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita yang kaya raya, cantik dan berkecukupan, maka apakah kamu mau menerimanya?
Muhammad : Siapa dia ?
Nafisah : (Dengan cepat dia menjawab) Dia adalah Khadijah binti Khuwailid
Muhammad : Jika dia setuju maka akupun setuju.

Nafisah pergi menemui Khadijah untuk menyampaikan kabar gembira tersebut, sedangkan Muhammad al-Amin memberitahukan kepada paman-paman beliau tentang keinginannya untuk menikahi sayyidah Khadijah. Kemudian berangkatlah Abu Tholib, Hamzah dan yang lain menemui paman Khadijah yang bernama Amru bin Asad untuk melamar Khadijah bagi putra saudaranya, dan selanjutnya menyerahkan mahar.
Setelah usai akad nikah, disembelihlah beberapa ekor hewan kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir. Khadijah membuka pintu bagi keluarga dan handai taulan dan diantara mereka terdapat Halimah as-Sa’diyah yang datang untuk menyaksikan pernikahan anak susuannya. Setelah itu dia kembali ke kampungnya dengan membawa 40 ekor kambing sebagai hadiah perkawinan yang mulia dari Khadijah, karena dahulu dia telah menyusui Muhammad yang sekarang menjadi suami tercinta.

Maka jadilah Sayyidah Quraisy sebagai istri dari Muhammad al-Amin dan jadilah dirinya sebagai contoh yang paling utama dan paling baik dalam hal mencintai suami dan mengutamakan kepentingan suami dari pada kepentingan sendiri. Manakala Muhammad mengharapkan Zaid bin Haritsah, maka dihadiahkanlah oleh Khadijah kepada Muhammad. Demikian juga tatkala Muhammad ingin mengembil salah seorang dari putra pamannya, Abu Tholib, maka Khadijah menyediakan suatu ruangan bagi Ali bin Abi Tholib radhiallâhu ‘anhu agar dia dapat mencontoh akhlak suaminya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam .

Allah memberikan karunia pada rumah tangga tersebut berupa kebehagaian dan nikmat yang berlimpah, dan mengkaruniakan pada keduanya putra-putri yang bernama al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqqayah, Ummi Kalsum dan Fatimah.
Kemudian Allah Ta’ala menjadikan Muhammad al-Amin ash-Shiddiq menyukai Khalwat (menyendiri), bahkan tiada suatu aktifitas yang lebih ia sukai dari pada menyendiri. Beliau menggunakan waktunya untuk beribadah kepada Allah di Gua Hira’ sebulan penuh pada setiap tahunnya. Beliau tinggal didalamnya beberapa malam dengan bekal yang sedikit jauh dari perbuatan sia-sia yang dilakukan oleh orang-orang Makkah yakni menyembah berhala dan lain –lain.

Sayyidah ath-Thahirah tidak merasa tertekan dengan tindakan Muhammad yang terkadang harus berpisah jauh darinya, tidak pula beliau mengusir kegalauannya dengan banyak pertanyaan maupun mengobrol yang tidak berguna, bahkan beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk membantu suaminya dengan cara menjaga dan menyelesaikan tugas yang harus dia kerjakan dirumah. Apabila dia melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke gua, kedua matanya senantiasa mengikuti suaminya terkasih dari jauh. Bahkan dia juga menyuruh orang-orang untuk menjaga beliau tanpa mengganggu suaminya yang sedang menyendiri.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di dalam gua tersebut hingga batas waktu yang Allah kehendaki, kemudian datanglah Jibril dengan membawa kemuliaan dari Allah sedangkan beliau di dalam gua Hira’ pada bulan Ramadhan. Jibril datang dengan membawa wahyu.Selanjutnya beliay Nabi Saw keluar dari gua menuju rumah beliau dalam kegelapan fajar dalam keadaaan takut, khawatir dan menggigil seraya berkata: “Selimutilah aku ….selimutilah aku …”.

Setelah Khadijah meminta keterangan perihal peristiwa yang menimpa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menjawab:”Wahai Khadijah sesungguhnya aku khawatir terhadap diriku”.

Maka Istri yang dicintainya dan yang cerdas itu menghiburnya dengan percaya diri dan penuh keyakinan berkata: “Allah akan menjaga kita wahai Abu Qasim, bergembiralah wahai putra pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, sugguh aku berharap agar anda menjadi Nabi bagi umat ini. Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu selamanya, sesungguhnya anda telah menyambung silaturahmi, memikul beban orang yang memerlukan, memuliakan tamu dan menolong para pelaku kebenaran.

Maka menjadi tentramlah hati Nabi berkat dukungan ini dan kembalilah ketenangan beliau karena pembenaran dari istrinya dan keimanannya terhadap apa yang beliau bawa.

Namun hal itu belum cukup bagi seorang istri yang cerdas dan bijaksana, bahkan beliau dengan segera pergi menemui putra pamannya yang bernama waraqah bin Naufal, kemudian beliau ceritakan perihal yang terjadi pada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Maka tiada ucapan yang keluar dari mulutnya selain perkataan: “Qudus….Qudus…..Demi yang jiwa Waraqah ada ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan kepadaku benar,maka sungguh telah datang kepadanya Namus Al-Kubra sebagaimana yang telah datang kepada Musa dan Isa, dan Nuh alaihi sallam secara langsung.

Tatkala melihat kedatangan Nabi, sekonyong-konyong Waraqah berkata: “Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, Sesungguhnya engkau adalah seorang Nabi bagi umat ini, pastilah mereka akan mendustakan dirimu, menyakiti dirimu, mengusir dirimu dan akan memerangimu.

Seandainya aku masih menemui hari itu sungguh aku akan menolong dien Allah “. Kemudian ia mendekat kepada Nabi dan mencium ubun-ubunnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Apakah mereka akan mengusirku?”. Waraqah menjawab: “Betul, tiada seorang pun yang membawa sebagaimana yang engkau bawa melainkan pasti ada yang menentangnya. Kalau saja aku masih mendapatkan masa itu …kalau saja aku masih hidup…”. Tidak beberapa lama kemudian Waraqah wafat.

Menjadi tenanglah jiwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mendengar penuturan Waraqah, dan beliau mengetahui bahwa akan ada kendala-kendala di saat permulaan berdakwah, banyak rintangan dan beban. Beliau juga menyadari bahwa itu adalah sunnatullah bagi para Nabi dan orang-orang yang mendakwahkan dien Allah. Maka beliau menapaki jalan dakwah dengan ikhlas semata-mata karena Allah Rabbul Alamin, dan beliau mendapatkan banyak gangguan dan intimidasi.

Adapun Khadijah adalah seorang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan yang pertama kali masuk Islam.
Beliau adalah seorang istri Nabi yang mencintai suaminya dan juga beriman, berdiri mendampingi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang dicintainya untuk menolong, menguatkan dan membantunya serta menolong beliau dalam menghadapi kerasnya gangguan dan ancaman sehingga dengan hal itulah Allah meringankan beban Nabi-Nya.Tidaklah beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, baik penolakan maupun pendustaan yang menyedihkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali Allah melapangkannya melalui istrinya bila beliau kembali ke rumahnya.

Beliau (Khadijah) meneguhkan pendiriannya, menghiburnya, membenarkannya dan mengingatkan tidak berartinya celaan manusia pada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ayat-ayat Al-Qur’an juga mengikuti (meneguhkan Rasulullah), Firman-Nya:

“Hai orang-orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Rabb-Mu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (belasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Rabb-Mu, bersabarlah!”(Al-Muddatstsir:1-7).

Sehingga sejak saat itu Rasulullah yang mulia memulai lembaran hidup baru yang penuh barakah dan bersusah payah. Beliau katakan kepada sang istri yang beriman bahwa masa untuk tidur dan bersenang-senang sudah habis. Khadijah radhiallâhu ‘anha turut mendakwahkan Islam disamping suaminya -semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau. Diantara buah yang pertama adalah Islamnya Zaid bin Haritsah dan juga keempat putrinya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya.

Mulailah ujian yang keras menimpa kaum muslimin dengan berbagai macam bentuknya,akan tetapi Khadijah berdiri kokoh bak sebuah gunung yang tegar kokoh dan kuat. Beliau wujudkan Firman Allah Ta’ala:
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’ , sedangkan mereka tidak diuji lagi?” . (Al-’Ankabut:1-2).

Allah memilih kedua putranya yang pertama Abdullah dan al-Qasim untuk menghadap Allah tatkala keduanya masih kanak-kanak, sedangkan Khadijah tetap bersabar. Beliau juga melihat dengan mata kepalanya bagaimana syahidah pertama dalam Islam yang bernama Sumayyah tatkala menghadapi sakaratul maut karena siksaan para thaghut hingga jiwanya menghadap sang pencipta dengan penuh kemuliaan.

Beliau juga harus berpisah dengan putri dan buah hatinya yang bernama Ruqayyah istri dari Utsman bin Affan radhiallâhu ‘anhu karena putrinya hijrah ke negeri Habsyah untuk menyelamatkan diennya dari gangguan orang-orang musyrik. Beliau saksikan dari waktu ke waktu yang penuh dengan kejadian besar dan permusuhan. Akan tetapi tidak ada kata putus asa bagi seorang Mujahidah. Beliau laksanakan setiap saat apa yang difirmankan Allah Ta’ala :

“Kamu sungguh-sungguh akan duji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberikan kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, ganguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang di utamakan “. (Ali Imran:186).

Sebelumnya, beliau juga telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya al-Amin ash-Shiddiq yang mana beliau berdakwah di jalan Allah, namun beliau menghadapi segala musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau campakkan seluruh bujukan kesanangan dunia yang menipu yang hendak ditawarkan dengan aqidahnya. Dan pada saat-saat itu beliau bersumpah dengan sumpah yang menunjukkan keteguhan dalam memantapkan kebenaran yang belum pernah dikenal orang sebelumnya dan tidak bergeming dari prinsipnya walau selangkah semut. Beliau bersabda: “Demi Allah wahai paman! seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa karenannya”.

Begitulah Sayyidah mujahidah tersebut telah mengambil suaminya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai contoh yang paling agung dan tanda yang paling nyata tentang keteguhan diatas iman. Oleh karena itu, kita mendapatkan tatkala orang-orang Quraisy mengumumkan pemboikotan mereka terhadap kaum muslimin untuk menekan dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan dan mereka tulis naskah pemboikotan tersebut kemudian mereka tempel pada dinding ka’bah; Khadijah tidak ragu untuk bergabung dengan kaum muslimin bersama kaum Abu Thalib dan beliau tinggalkan kampung halamannya untuk menempa kesabaran selama tiga tahun bersama Rasul dan orang-orang yang menyertai beliau menghadapi beratnya pemboikotan yang penuh dengan kesusahan dan menghadapi kesewenang-wenangan para penyembah berhala. Hingga berakhirlah pemboikotan yang telah beliau hadapi dengan iman, tulus dan tekad baja tak kenal lelah. Sungguh Sayyidah Khadijah telah mencurahkan segala kemampuannya untuk menghadapi ujian tersebut di usia 65 tahun. Selang enam bulan setelah berakhirnya pemboikotan itu wafatlah Abu Thalib, kemudian menyusul seorang mujahidah yang sabar -semoga Allah meridhai beliau- tiga tahun sebelum hijrah.

Dengan wafatnya Khadijah maka meningkatlah musibah yang Rasul hadapi. Karena bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Khadijah adalah teman yang tulus dalam memperjuangkan Islam.

Begitulah Nafsul Muthmainnah telah pergi menghadap Rabbnya setelah sampai pada waktu yang telah ditetapkan, setelah beliau berhasil menjadi teladan terbaik dan paling tulus dalam berdakwah di jalan Allah dan berjihad dijalan-Nya. Dalalm hubungannya, beliau menjadi seorang istri yang bijaksana, maka beliau mampu meletakkan urusan sesuai dengan tempatnya dan mencurahkan segala kemamapuan untuk mendatangkan keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah beliau berhak mendapat salam dari Rabb-nya dan mendapat kabar gembira dengan rumah di surga yang terbuat dari emas, tidak ada kesusahan didalamnya dan tidak ada pula keributan didalamnya. Karena itu pula Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik wanita adalah Maryam binti Imran, sebaik-baik wanita adalah Khadijah binti Khuwailid”.

Ya Allah ridhailah Khadijah binti Khuwailid, As-Sayyidah Ath-Thahirah. Seorang istri yang setia dan tulus, mukminah mujahidah di jalan diennya dengan seluruh apa yang dimilikinya dari perbendaharaan dunia. Semoga Allah memberikan balasan yang paling baik karena jasa-jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin.

[Al-Ikhlas Apps]

Khadijah Binti Khuwalid Dan Kehidupannya Bersama Rasulullah

Beliau adalah seorang sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Dia adalah putri dari Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al...

 

Tekno Ilmu © 2015 - Blogger Templates Designed by Templateism.com, Plugins By MyBloggerLab.com